China dikenal sebagai salah satu raksasa industri game dunia. Perusahaan-perusahaan seperti Tencent, dio228 dan NetEase menjadi pemain utama dalam pasar global, memproduksi dan mengembangkan game yang populer di seluruh penjuru dunia. Dari game mobile hingga e-sport berskala internasional, dominasi China di dunia game tak terbantahkan. Namun, ironi mencuat ketika negara ini justru menerapkan regulasi ketat terhadap akses anak mudanya terhadap game, memicu perhatian dan perdebatan global.

Pemerintah China berdalih bahwa pembatasan ini dilakukan demi menjaga kesehatan mental, fisik, dan moral generasi muda. Anak-anak di bawah usia 18 tahun hanya diizinkan bermain game online selama satu jam per hari pada hari Jumat, akhir pekan, dan hari libur nasional. Langkah ini dipicu oleh kekhawatiran meningkatnya kecanduan game, penurunan prestasi akademik, serta gangguan sosial akibat paparan layar berlebihan. Bagi pemerintah, membatasi akses dianggap sebagai bentuk tanggung jawab dalam melindungi masa depan anak bangsa.

Kebijakan ini mengundang respons beragam. Di satu sisi, banyak pihak mendukung langkah tegas ini karena dinilai mampu membentuk generasi muda yang lebih disiplin dan sehat secara menyeluruh. Namun di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara yang menjadi penghasil utama game dunia justru membatasi warganya sendiri untuk menikmatinya? Beberapa pengamat menilai bahwa ini menunjukkan adanya jurang antara kepentingan ekonomi dan perlindungan sosial dalam kebijakan teknologi di China.

Fenomena ini menjadi refleksi penting bagi dunia: bahwa pertumbuhan teknologi, termasuk industri game, harus selalu dibarengi dengan kebijakan etis dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat. China mungkin telah menjadi produsen game nomor satu, tapi langkah mereka menunjukkan bahwa kemajuan industri tetap harus dikendalikan dengan prinsip kehati-hatian. Dunia pun kini menyaksikan bagaimana keseimbangan antara inovasi dan regulasi menjadi tantangan besar yang tak bisa dihindari dalam era digital.